Keinginan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sedianya awal April kandas. Sidang Paripurna DPR, lembaga yang memberikan persetujuan, menolak untuk mencabut satu pasal penting dalam Undang-Undang APBN 2012. Pasal itu memuat larangan bagi pemerintah menaikkan harga BBM.
Hasil rapat hingga menjelang pagi di akhir minggu kemarin itu dikawal aksi mahasiswa bersama masyarakat di banyak kota. Mereka berunjuk rasa menolak kenaikan. Akhirnya, di Gedung DPR, diperoleh langkah kompromi. Satu klausul muncul: jika dalam enam bulan harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen dari harga patokan US$ 105 per barel, pemerintah dipersilakan menaikkan harga.
Kelahiran Ayat 6A dalam Pasal 7 itu menuai kekisruhan baru. Yakni, digugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran dianggap ilegal, sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang menyatakan tidak boleh ada kenaikan BBM. Prosedur kelahirannya juga ikut dipersoalkan.
Di luar itu, yang menarik dan seringkali menjadi pertanyaan, adalah sikap pemerintah dalam mengambil keputusan penting. Sepertinya tidak direncanakan dengan matang, dan cenderung sembrono. Kasus BBM bersubsidi ini dengan jelas memperlihatkan hal itu.
Pertama, tampak pada pengumuman awal. Pemerintah seperti selalu disuarakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo, ingin melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sejak Januari isu ini sudah ramai. Tapi yang resmi diusulkan justru kenaikan. Kebijakan yang ingin diambil sebagai respons atas kenaikan harga minyak mentah dan beban anggaran tidak konsisten.
Kedua, jeda respons kebijakan terkait situasi yang ada – dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah -, biasa disebut inside lag, terlalu lama. Dari Desember (mungkin juga sebelumnya) sudah dikaji, tiga bulan kemudian baru diusulkan. Tragisnya, isu ini ‘digoreng’ oleh pemerintah, mungkin dengan maksud sosialiasi.
Apapun maksudnya, jelas menibulkan reaksi buruk. Penimbunan marak. Suara menentang, mengingat isu ini sangat seksi, terus terkonsolidasi sampai akhirnya memuncak. Pada situasi yang tidak menguntungkan itu, partai anggota koalisi pendukung pemerintah pun balik badan. Sejatinya kemungkinan ini sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga punya persiapan matang.
Ketiga, penjelasan yang tak lengkap. Kontroversi perhitungan angka subsidi mencuat dari milis ke milis, bahkan menjadi konsumsi media arus utama. Tak ada penjelasan detai dari pemerintah, yang kemudian memunculkan hembusan isu ada ‘sesuatu’ yang disembunyikan dalam perhitungan.
Ketika Departemen Energi mengklarifikasi lewat situs resminya, angka besaran subsidi dalam versi tersebut Rp 2.400 per liter atau totalnya Rp 96 triliun. Sementara yang diajukan oleh pemerintah Rp 104 triliun. Mungkin hitungan keduanya benar, namun perbedaan angka pada Departemen Energi dan Departemen Keuangan itu justru menambah amunisi penolakan, mengingat adanya informasi yang tidak simetrik atau setara antara pemerintah dengan publik. Di sini, soalnya adalah koordinasi.
Keempat, ada respons panik dan berupaya ‘buang bola’ ke pihak lain. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah melempar pernyataan bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, pernah mengusulkan kenaikan BBM Rp 2.000 per liter. Sikap ini tidak elegan, tak semestinya hasil rapat pimpinan tertinggi partai koalisi dengan Presiden sampai keluar.
Ini soal etika, yang akhirnya berbuah buruk. Kekisruhan makin menjadi-jadi. Golkar bereaksi dengan pernyataan menolak kenaikan BBM. Peran Ketua Fraksi Demokrat diambil alih Anas Urbaningrum, Ketua Umum. Jafar Hafsah sendiri disitirahatkan di luar ‘lapangan’.
Kelima, tampak argumen pemerintah untuk publik tentang rencana kenaikan BBM tidak matang. Suara pendukung kenaikan BBM seragam. Mereka hanya punya satu dalil, yaitu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga BBM subsidi harus naik. Tapi logika setelah itu, tidak begitu baik sampai ke masyarakat.
Boleh jadi pemerintah begitu percaya diri dengan usulannya, setelah ada kesepakatan dengan partai koalisi. Sehingga cenderung meremehkan daya serap masyarakat terhadap informasi yang berkembang. Semestinya ini suatu pelajaran berharga. Rakyat pun bisa jeli dan kritis.
Mungkin dalam kasus mirip ini kelak, tak salah juga jika sekadar mengingat pesan Jenderal Tsun Zu, ahli strategi perang dari China: Jika Anda jauh dari musuh, buatlah musuh percaya bahwa (posisi) Anda begitu dekat dengan mereka.
Sumber: http://plasadana.com
Hasil rapat hingga menjelang pagi di akhir minggu kemarin itu dikawal aksi mahasiswa bersama masyarakat di banyak kota. Mereka berunjuk rasa menolak kenaikan. Akhirnya, di Gedung DPR, diperoleh langkah kompromi. Satu klausul muncul: jika dalam enam bulan harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 15 persen dari harga patokan US$ 105 per barel, pemerintah dipersilakan menaikkan harga.
Kelahiran Ayat 6A dalam Pasal 7 itu menuai kekisruhan baru. Yakni, digugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran dianggap ilegal, sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang menyatakan tidak boleh ada kenaikan BBM. Prosedur kelahirannya juga ikut dipersoalkan.
Di luar itu, yang menarik dan seringkali menjadi pertanyaan, adalah sikap pemerintah dalam mengambil keputusan penting. Sepertinya tidak direncanakan dengan matang, dan cenderung sembrono. Kasus BBM bersubsidi ini dengan jelas memperlihatkan hal itu.
Pertama, tampak pada pengumuman awal. Pemerintah seperti selalu disuarakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo, ingin melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sejak Januari isu ini sudah ramai. Tapi yang resmi diusulkan justru kenaikan. Kebijakan yang ingin diambil sebagai respons atas kenaikan harga minyak mentah dan beban anggaran tidak konsisten.
Kedua, jeda respons kebijakan terkait situasi yang ada – dalam hal ini kenaikan harga minyak mentah -, biasa disebut inside lag, terlalu lama. Dari Desember (mungkin juga sebelumnya) sudah dikaji, tiga bulan kemudian baru diusulkan. Tragisnya, isu ini ‘digoreng’ oleh pemerintah, mungkin dengan maksud sosialiasi.
Apapun maksudnya, jelas menibulkan reaksi buruk. Penimbunan marak. Suara menentang, mengingat isu ini sangat seksi, terus terkonsolidasi sampai akhirnya memuncak. Pada situasi yang tidak menguntungkan itu, partai anggota koalisi pendukung pemerintah pun balik badan. Sejatinya kemungkinan ini sudah bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga punya persiapan matang.
Ketiga, penjelasan yang tak lengkap. Kontroversi perhitungan angka subsidi mencuat dari milis ke milis, bahkan menjadi konsumsi media arus utama. Tak ada penjelasan detai dari pemerintah, yang kemudian memunculkan hembusan isu ada ‘sesuatu’ yang disembunyikan dalam perhitungan.
Ketika Departemen Energi mengklarifikasi lewat situs resminya, angka besaran subsidi dalam versi tersebut Rp 2.400 per liter atau totalnya Rp 96 triliun. Sementara yang diajukan oleh pemerintah Rp 104 triliun. Mungkin hitungan keduanya benar, namun perbedaan angka pada Departemen Energi dan Departemen Keuangan itu justru menambah amunisi penolakan, mengingat adanya informasi yang tidak simetrik atau setara antara pemerintah dengan publik. Di sini, soalnya adalah koordinasi.
Keempat, ada respons panik dan berupaya ‘buang bola’ ke pihak lain. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah melempar pernyataan bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, pernah mengusulkan kenaikan BBM Rp 2.000 per liter. Sikap ini tidak elegan, tak semestinya hasil rapat pimpinan tertinggi partai koalisi dengan Presiden sampai keluar.
Ini soal etika, yang akhirnya berbuah buruk. Kekisruhan makin menjadi-jadi. Golkar bereaksi dengan pernyataan menolak kenaikan BBM. Peran Ketua Fraksi Demokrat diambil alih Anas Urbaningrum, Ketua Umum. Jafar Hafsah sendiri disitirahatkan di luar ‘lapangan’.
Kelima, tampak argumen pemerintah untuk publik tentang rencana kenaikan BBM tidak matang. Suara pendukung kenaikan BBM seragam. Mereka hanya punya satu dalil, yaitu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga BBM subsidi harus naik. Tapi logika setelah itu, tidak begitu baik sampai ke masyarakat.
Boleh jadi pemerintah begitu percaya diri dengan usulannya, setelah ada kesepakatan dengan partai koalisi. Sehingga cenderung meremehkan daya serap masyarakat terhadap informasi yang berkembang. Semestinya ini suatu pelajaran berharga. Rakyat pun bisa jeli dan kritis.
Mungkin dalam kasus mirip ini kelak, tak salah juga jika sekadar mengingat pesan Jenderal Tsun Zu, ahli strategi perang dari China: Jika Anda jauh dari musuh, buatlah musuh percaya bahwa (posisi) Anda begitu dekat dengan mereka.
Sumber: http://plasadana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar