1. Data Publikasi
a. Judul : Letusan Krakatau dalam Catatan
b. Penulis : 1. Ahmad Arif
2. Indira Permanasari,
3. Yulvianus Harjono,
4. C Anto Saptowalyono. Litbang
c. Penerbit : Surat Kabar Harian Kompas
d. Tanggal : 19 November 2011
e. Tema : Sains
2. Sinopsis
Saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883, teknik pendokumentasian canggih seperti sekarang belum ada. Sekalipun seismograf mulai dikembangkan, belum ada jaringan yang mendunia, apalagi seismograf yang beroperasi dalam radius 5.000 kilometer dari Krakatau ataupun teknologi satelit.
Rekaman suara, seperti telepon dan radio, telah ditemukan, tetapi belum digunakan di belahan timur dunia. Teknologi film sudah lahir, tetapi belum fleksibel dan mudah dibawa seperti saat ini. Keterbatasan ini membuat dokumentasi melalui tulisan lebih banyak tersedia. Korespondensi, jurnal, dan berita koran merupakan rekaman utama peristiwa letusan Krakatau.
Kapal berangkat dari Batavia membawa rombongan sebanyak 86 penumpang menuju Krakatau.. kapal mulai dihujani abu dan batu apung. Angin mulai bertiup kencang dan kapal berjuang melewati Krakatau, lalu melepas jangkar di dekat Teluk Betung, sekitar pukul 7 terlihat gelombang besar yang kemudian tumpah dan menyapu daratan. Dengan tenaga uap, kapal menuju Anyer, sementara hujan lumpur dan abu membuat lapisan tebal dan orang sulit bernapas. Suasana semakin gelap, dan pukul 10.30 pagi kegelapan total segelap malam menyelimuti. Disusul angin topan dan gelombang tinggi setinggi surga (langit) dan membuat orang-orang khawatir bakal terkubur gelombang, namun kapal terus melaju dengan kepala kapal menghadap ke gelombang. Sore hari, angin mereda. Kegelapan menyelimuti hingga subuh pukul 4 keesokan harinya, 28 Agustus. Hari itu, sekitar pukul 6.50 sore, sampai dengan selamat di Teluk Bantam. Dalam perjalanan pulang itu, terlihat bagian tengah Krakatau telah menghilang. tiba-tiba, sekitar pukul 9, langit menjadi gelap.Orang-orang tidak bisa melihat dalam jarak dekat dan lilin-lilin pun dinyalakan. Abu mulai berjatuhan, sementara langit di bagian barat tampak cahaya kekuningan.
Telegram pertama diterima dari Serang yang mengabarkan letusan Krakatau.Letusannya terdengar dan pijaran apinya terlihat pada malam hari di Serang. GF Tydemann adalah seorang letnan kapal perang Koningin Emma der Nederlander. Tydemann menceritakan kedatangan tsunami. Pukul 9.30 pagi, kegelapan mulai menyelimuti. Tekanan udara di dalam kapal berubah drastis, menimbulkan tekanan aneh di telinga. Sementara itu, hujan abu semakin tebal. Bukan tekanan angin ternyata, melainkan tekanan air yang mengganggu kapal hingga pukul 12.00 siang. Air mulai naik dengan cepat sebelum sore hari. Begitu cepat dan tingginya sehingga segera menyapu bagian atas dermaga. Dan tiba-tiba air bergulung menuju permukiman, dari sana terdengar teriakan dan tangis ketakutan.
Satu-satunya kesaksian pribumi ditulis Muhammad Saleh dalam bentuk "Syair Lampung Karam"Boleh jadi Saleh mengungsi ke Singapura lantaran bencana itu. Berikut penggalan syairnya yang menceritakan kedahsyatan letusan Krakatau:
Di dalam hal demikian peri,
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya ,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya.
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya ,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya.
3. Keungulan
Dalam artikel “Letusan Krakatau dalam Catatan” berikut ini mengambarkan peristiwa yang di alami oleh orang-orang yang di sekitar Krakatau dan melaluli artikel ini pembaca di beritahuan apa saja yang dialami sebelum dan setelah peristiwa itu terjadi dan menjadikan pembaca mengetahui lengkap kejadian tersebut.Dan juga pembaca bisa mengetahui bagaimana perasaan orang-orang yang mengalami peristiwa tersebut dengan membaca penggalan syair yang telah di buat oleh salah satu saksi mata yang selamat dari kedasyatan letusan Krakatau ini.
4. Kelemahan
Pada artikel “Letusan Krakatau dalam Catatan” kurang di sertai dengan penanganan yang dilakukan ketika peristiwa letusan itu terjadi.
5. Pendapat akhir
Artikel “Letusan Krakatau dalam Catatan” sudah cukup baik karena di jelaskan dari bagaimana cara pencatatan pada saat peristiwa Letusan Krakatau ingin terjadi,pada saat peristiwa Letusan Krakatau terjadi dan sampai Letusan Krakautau tersebut sudah terjadi.Step demi step yang terjadi pada saat itu di tuliskan dengan lengkap dari waktu dan tempat lalu orang-orang yang terdapat pada peristiwa tersebut.Lalu disertai juga dengan penggalan syair yang mengambarkan perasaan orang-orang pada saat peristiwa itu terjadi.Maka dengan adanya penjelasan itu semua membuat artikel ini lengkap dan sempurna.
6. Artikel Asli
Letusan Krakatau dalam Catatan
KOMPAS.com — Saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883, teknik pendokumentasian canggih seperti sekarang belum ada. Sekalipun seismograf mulai dikembangkan, belum ada jaringan yang mendunia, apalagi seismograf yang beroperasi dalam radius 5.000 kilometer dari Krakatau ataupun teknologi satelit.
Rekaman suara, seperti telepon dan radio, telah ditemukan, tetapi belum digunakan di belahan timur dunia. Teknologi film sudah lahir, tetapi belum fleksibel dan mudah dibawa seperti saat ini. Keterbatasan ini membuat dokumentasi melalui tulisan lebih banyak tersedia. Korespondensi, jurnal, dan berita koran merupakan rekaman utama peristiwa letusan Krakatau.
Catatan-catatan dikumpulkan oleh Tom Simkin dan Richard S Fiske dalam bukunya, Krakatau 1883: The Volcanic Eruption and Its Effects. Sementara satu-satunya tulisan pribumi tentang letusan itu termuat dalam "Syair Lampung Karam" yang dialihaksarakan Suryadi Sunuri. Berikut beberapa ringkasan catatan tersebut.
Catatan Kapten Johan Lindeman yang membawa Kapal Governor General Loudon melalui Selat Sunda. Kapal berangkat dari Batavia membawa rombongan sebanyak 86 penumpang menuju Krakatau.
Minggu, 26 Agustus 1883, kapal mulai dihujani abu dan batu apung. Angin mulai bertiup kencang dan kapal berjuang melewati Krakatau, lalu melepas jangkar di dekat Teluk Betung, Lampung. Senin, 27 Agustus, sekitar pukul 7 terlihat gelombang besar yang kemudian tumpah dan menyapu daratan. Dengan tenaga uap, kapal menuju Anyer, sementara hujan lumpur dan abu membuat lapisan tebal dan orang sulit bernapas. Suasana semakin gelap, dan pukul 10.30 pagi kegelapan total segelap malam menyelimuti. Disusul angin topan dan gelombang tinggi setinggi surga (langit) dan membuat orang-orang khawatir bakal terkubur gelombang, namun kapal terus melaju dengan kepala kapal menghadap ke gelombang. Sore hari, angin mereda. Kegelapan menyelimuti hingga subuh pukul 4 keesokan harinya, 28 Agustus. Hari itu, sekitar pukul 6.50 sore, sampai dengan selamat di Teluk Bantam. Dalam perjalanan pulang itu, terlihat bagian tengah Krakatau telah menghilang.
Laporan koran Java Bode. Senin 27 Agustus 1883, tiba-tiba, sekitar pukul 9, langit menjadi gelap. Orang-orang tidak bisa melihat dalam jarak dekat dan lilin-lilin pun dinyalakan. Abu mulai berjatuhan, sementara langit di bagian barat tampak cahaya kekuningan. Telegram pertama diterima dari Serang yang mengabarkan letusan Krakatau. Letusannya terdengar dan pijaran apinya terlihat pada malam hari di Serang. 28 Agustus 1883, dari Serang datang kabar kondisi hujan abu dan korban jiwa di Anyer.
GF Tydemann adalah seorang letnan kapal perang Koningin Emma der Nederlander. Tydemann menceritakan kedatangan tsunami. Pukul 9.30 pagi, kegelapan mulai menyelimuti. Tekanan udara di dalam kapal berubah drastis, menimbulkan tekanan aneh di telinga. Sementara itu, hujan abu semakin tebal. Bukan tekanan angin ternyata, melainkan tekanan air yang mengganggu kapal hingga pukul 12.00 siang. Air mulai naik dengan cepat sebelum sore hari. Begitu cepat dan tingginya sehingga segera menyapu bagian atas dermaga. Dan tiba-tiba air bergulung menuju permukiman, dari sana terdengar teriakan dan tangis ketakutan. Orang-orang dalam paniknya berusaha memanjat apa pun yang mengambang, ke kapal-kapal di dermaga, kapal uap pemerintah Siak, dan akhirya juga ke kapal Tydemann.
Satu-satunya kesaksian pribumi ditulis Muhammad Saleh dalam bentuk "Syair Lampung Karam". Ahli filologi dan dosen/peneliti di Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, mengalihaksarakan naskah yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab-Melayu (Jawi). Setelah meneliti syair itu, Suryadi berpendapat, pengarang menulis syair itu di Kampung Bengkulu yang kemudian dikenal sebagai Bencoolen Street di Singapura. Muhammad Saleh menyatakan datang dari Tanjung Karang, Lampung, dan mengaku menyaksikan langsung malapetaka akibat letusan Krakatau. Boleh jadi Saleh mengungsi ke Singapura lantaran bencana itu. Berikut penggalan syairnya yang menceritakan kedahsyatan letusan Krakatau:
…. Di dalam hal demikian peri,
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya ,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya.
....
(Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono. Litbang)
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2011/11/19/0936474/Letsan.Krakatau.dalam.Catatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar